Thursday, April 1, 2010

MACAM-MACAM TALAK


Dalam formulasi fikih, talak yang dijatuhkan seorang suami dapat dikategorikan kepada beberapa bagian. Pemilahan dan pembagian itu didasarkan pada unsur-unsur penting yang membedakan satu bagian dengan bagian lain. Secara sederhana, pembagian talak itu akan dijelaskan berikut ini.


Ditinjau dari segi keabsahan menjatuhkannya
1.      Talak Sunni
Secara umum, istilah sunni yang terambil dari kata sanna-yasunnu berarti (sesuatu yang diizinkan oleh syari'). Jadi yang dimaksud dengan talak sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syara'.
Menurut ulama Malikiyyah, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasnawi, talak sunni adalah:
السني طلقة فى طهر لم يمس فيه ولا تاليا ليحيض طلث فيه ثم لا يتبعها طلاق حتى تنقض عدتها[1]
"Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan satu kali pada waktu suci yang belum "disentuh"(disetubuhi) pada waktu suci itu, bukan talak yang diiringi oleh masa haid yang mana ia menjatuhkan talak pada waktu itu, kemudian ia tidak mengikutinya dengan talak lain sanpai habis masa 'iddahnya."
Lebih jelas, al-Kasynawiy[2] menguraikan 5 syarat yang mesti terpenuhi untuk menyatakan bahwa talak tersebut termasuk kategori talak sunni, yaitu
a.       Talak yang dijatuhkan itu hanya satu
b.      Talak itu dijatuhkan pada waktu yang belum ia "sentuh"
c.       Talak yang dijatuhkan itu secara utuh, bukan sebahagiannya seperti separoh talak.
d.      Talak tersebut tidak dijatuhkan kepada perempuan yang sedang berada dalam masa 'iddah talak raj'iy. Jika ia mengiringnya dengan talak lain pada masa 'iddahnya maka talak yang kedua tersebut tidak dinamakan dengan talak sunni.
e.       Talak tersebut dijatuhka kepada seorang wanita secara utuh, bukan sebahagiannya,seperti rangannya saja.
Dalam formulasi fikih Syafi'iyyah terjadi perbedaan pendapat dalam mendefenisikan talak sunni tersebut. Sebahagian ulama syafi'iyyah mendefenisikan talak sunni, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad ai-Hashari berikut:
الطلاق السني بأنه طلاق مدخول بها فى طهر لم يجامعها فيه ولا فى حيض قبله وليست بحامل ولا صغيرة ولا أيسة وهي تعتد بالإقراء[3]
"Talak Sunni adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah)disetubuhi yang dijatuhkan pada waktu suci yang belum disetubuhinya pada waktu suci tersebut, bukan (dijatuhkan) pada waktu haid sebelumnya, waniti itu tidak hamil, tidan anak kecil dan tidak pula wanita monopouse, sementara ber'iddah dengan quru23
Sedangkan menurut sebahagian ulama Syafi'iyyah yang lain, talak sunni adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang dijatuhkan pada waktu suci dan ia belum disetubuhi pada waktu suci tersebut.[4] Adapun talak yang dijatuhkan kepada isteri yang masih kecil (sebelum Baligh), sudah tua yang telah monopouse, hamil atau isteri yang belum disetubuhi, menurut kelompok ini, tidak dinamakan talak sunni dan tidak pula bid'iy tetapi antara keduanya.[5]
Perbedaan antara mendefinisikan talak sunni diatas disebabkan perbedaan dalam mengklasifikasikan kategori dalam bentuk ini. Kelompok pertama mengklasifikasikan talak dalam kategori ini kepada: Talak sunni dan talak bid'iy. Sedangkan kelompok kedua mengklasifikasikannya kepada: talak sunni, talak bid'iy, dan bukan talak yang bukan sunni dan bid'iy.[6]
Menurut ulama Hanabilla, talak sunni adalah:
طلاق السنة هو أن يطلقها من غير جماع واحدة ثم بدعها حتى تنقض عدنها[7]
"Talak sunni adalah seseorang menjatuhkan talak isterinya yang belum distubuhinya (pada waktu suci itu) satu kali, kemudian ia meninggalkan isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya "
Adapun ulama Hanafiyyah, mengklasifikasikan talak sunni tersebut kepada dua kategori, yaitu talak ahsan (lebih baik) dan talak hasan (baik). Menurut mereka, talak ahsan adalah:
أن تطلقها طلقة واحدة رجعية فى طهر لا جماع فيه ولا طلاق ولا فى حيضة طلاق ولا جماع ويتركها حتى تنقض عدتها ثلاث حيضات إن كانت حرة وإن كانت أمة حيضتان[8]
"Yaitu seseorang menjatuhkan talak isterinya satu kalisebagai (talak) raj'iy pada waktu suci, yang mana pada waktu suci itu belum disetubuhinya dan belum dijatuhi talak (sebelumnya), (talak itu)tidak dijatuhkan pada waktu haid dan tidak pula disetubuhi dan ia meninggalkan (tidak menyetubuhi) isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya, yaitu tiga kali haid jika isterimya itu merdeka, atau dua kali haid jika isterinya itu budak "
Sedangkan talak hasan menurut mereka adalah:
أن يطلق المدخول بها ثلاثا فى ثلاثة أطهار[9]
"Yaitu seseorang menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah disetubuhi sebanyak tiga kali pada waktu tiga kali suci"
Jadi substansi yang membedakan antara kedua macam talak sunni yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyyah diatas terletak pada jumlah talak yang dijatuhkan satu kali sampai habis masa 'iddahnya, maka talak sunni itu dinamakan sunni ahsan. Namun apabila dijatuhkan tiga kali pada waktu tiga kali suci maka dinamakan dengan talak sunni hasan.
Menurut ulama Hanafiyyah, pembedaan antara talak sunni ahsan dan talak sunni hasan tersebut didasarkan kepada riwayat yang diterima dari Ibrahim al-Nakh'I yang menjelaskan bahwa para sahabat Rasulullah SAW menyukai talak hanya satu sampai habis masa 'iddah isterinya itu.[10] Disampaing itu al-kasani menjelaskan bahwa talak sunni ahsan, dimana seorang suami hanya menjatuhkan satu talak sampai habis masa 'iddah isterinya, lebih memberi peluang kepada suami tersebut untuk menyesali tindakannya, dibandingkan talak sunni hasan yang mana seorang suami menjatuhkan tiga talak pada tiga kali suci. Oleh karena itu, menurut al-kasani, mesti dibedakan antara kedua macam talak sunni tersebut.[11]
Lebih jauh al-marghinani menguraikan alur piker pembedaan klasifikasi talak sunni itu dengan mengatkan bahwa hokum asal dari talak itu adalah haram. Sebab talak tersebut memutuskan ikatan pernikahan yang memuat dan sarat akan dimensi kemaslahatan duniawi dan religi. Sedangkan pembolehan karena hajjah hanya sekedar melepaskannya saja (talak satu), bukan mengumpulkan talak itu sampai tiga meskipun pada masa tiga kali suci. Alur piker tersebut dikemukakannya sebagai berikut:
ولنا أن الأصل فى الطلاق هو الحظر لما فيه من قطع النكاح الذي تعلقت به المصاله الدينية والدنيوية والإباحة المحاجة إلى الخلاص[12]
"Menurut kami (Hanafiyyah), sesungguhnya asal hukum talak adalah haram, karena memutuskan ikatan pernikahan yang dikaitkan dengannya kemashlahatan duniawi dan religi. Pembolehan hanya karena hajjah hanya sekedar melepaskan"
Oleh karena itu menurutnya, tidak dapat disamakan antara talak sunni ahsan, yaitu menjatuhkan satu talak, dengan talak sunni hasan ­dimana seorang suami menjatuhkan talak isterinya tiga kali pada masa tiga kali suci.
Apabila diperhatikan formulasi fikih tentang talak sunni yang telah ditemukan oleh para ulama terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa kategori talak sunni ahsan versi ulama Hanafiyyah tersebut jelas merupakan talak sunni menurut Jumhur Ulama. Namun kategori talak sunni hasan versi ulama hanafiyyah itu, sudah termasuk talak bid'iy menurut ulama Malikiyyah dan ulama Hanabillah.[13]
Adapun alasan yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yang menyatakan talak yang dijatuhkan tiga kali pada waktu tiga kali suci itu, termasuk talak sunni, yaitu talak sunni ahsan adalah firman Allah SWT dan Hadits Nabi SAW. diantara firman Allah SWT yang menjelaskan hal itu adalah terdapat dalam surat al-Thalaq ayat 1:
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن...
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa Allah SWT menyuruh Nabi-Nya untuk menjatuhkan talak isterinya pada waktu mereka dapat menghadapi 'iddahnya. Menurut mereka, bukankah 'iddah meraka tiga kali suci  dan oleh karenanya tal;ak boleh dijatuhkan setiap kali suci itu, asalkan pada waktu suci tersebut wanita itu belum disetubuhinya.[14]
Menurut mereka pemahaman seperti itu didukung oleh Hadits Nebi SAW berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسلم صلى الله عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء (متفق عليه)[15]
"Diterima dari Ibnu 'Umar, bahwa sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, sementara isterinya itu dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. lalu 'Umar Ibn al-Khatab menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW berkat kepada 'Umar Ibn al-Khatab: suruh ia dan hendaknya ia rujuk kepada isterinya, kemudian hendaklah ia meninggalkannya sampai ia suci, kemudian haid, kemudian suci lagi. Selanjutnya, jika ia mau peganglal ia dan jika ia mau talak dia sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang diperintahkan oleh Alllah 'azza wa jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"
Menurut ulama Hanafiyyah tersebut, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW menyuruh 'Umar untuk merujuk isterinya pada waktu suci. Kemudian apabila masa haid stelah masa suci tersebut telah berlalu maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih antara; tetap memegangnya atau menceraikannuya. Hal ii menurut mereka mengendiaksikan bolehnya menjatuhkan talak sampai tiga kali pada waktu setiap kali suci.
Disamping itu mereka juga melandaskannya kepada Hadits Nabi SAW berikut:
عن عبد الله أنه قال طلاق السنة تطليقة وهي طاهر في غير جماع فإذا حاضت وطهرت طلقها أخرى فإذا حاضت وطهرت طلقها أخرى ثم تعتد بعد ذلك بحيضة (رواه النسائي)[16]
"Diterima dari Abdullah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Talak sunni adalah bahwa seseorang menjatuhkan talak isterinya satu, sementara isterinya itu dalam keadaan suci yang belum disetubuhi (pada waktu suci itu). Apabila masa hidbya telah berlalu dan telah dating pula masa sucinya, iamentalak lagi isterinya itu. Kemudian ia menunggu berlalunya satu kali masa haid lagi"
Talak sunni menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hashari sebagai berikiut:
هو أن يطلق الرجل امرئته فى طهر ثم يطأها فيه[17]
"Talak sunni ialah seorang suami menjatuhkan talak isterinya pada suci yang pada masa suci itu isterinya belum disetubuhinya "
Diadalam Kompilasi Hukum Islam,[18] talak raj'iy juga dijelaskan yaitu, talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa 'iddah.
2.      Talak bid'iy
Secara umum, istilah talak bid'iy yang terambil dari kata bada'a, yabda'u yang berarti ما نهى الشرع عنه[19] (sesuatau yang dilarang syara'). Jadi yang dimaksud dengan talak bid'iy adalah talak yang dijatuhkan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan syara'.
Akan tetapi, dalam menjelaskan talak yang termasuk dilarang dalam kategori syara' itu, para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah mendefnisikan talak bid'iy, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad al-Hashari sebagai berikut:
هو الطلاق الفاقد لشرط أو أكثر من الشروط الواجب[20]
"Yaitu talak yang tidak ada satu syarat atau lebih dari syarat-syarat yang mesti ada (sebagaimana yang telah dibahas pada syarat yang mesti ada pada talak sunni terdahulu)"
Disamping itu, ulama Malikiyyah membagi talak bid'iy kepada dua pembagaian, yaitu talak yang haram dijatuhkan dan talak yang makruh dijatuhkan. Adapun kategori talak yang haram dijatuhkan adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang memenuhi persyaratan berikut:
  1. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan haid atau nifash. Oleh karena menurut ulama Malikiyyah, wanita haid atau nifash baru boleh melakukan ibadah yang sifatnya ta'abudiyyah setelah ia mandi, disamping telah habios keluar darah haid dan nifash. Maka ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah terputus darah haid dan nifashnya dan belum mandi, maka hukumnya termasuk kedalam kategori ini, yaitu haram.
Adapun mengenai isteri yang tidak haid, seperti wanita yang telah monopouse atau tidak/belum haid, maka termasuk kategori talak bid'iy yang diharamkan baginya, tidak ada dalam poin ini, namun hanya pada dua bentuk yang terakhir.
  1. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinyatiga kali pada satu tempat, baik isteri itu pada masa haid atau dalam masa suci. Namun tentu saja menjatuhkan talak tiga kepada isteri ketika ia berada dalam masa haid, berarti ia melakukan dua dosa sekaligus, yaitu menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang berada dalam masa haid.
  2. Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya sebagai talak saja, misalnya, seorang suami berkata kepada isterinya; Engkau tertalak sebagian talak, atau suami tersebut menjatuhkan talak kepada sebagian anggota tubuhnya saja, seperti suami tersebut berkata: "tangan kamu tertalak."
Sedangkan yang termasuk talak bid'iy yang makruh dijatuhkan terwujud dengan dua syarat, yaitu: a) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya pada masa suci yang telah disetubuhinya pada masa suci itu, dan b) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya dua kali pada satu tempat.[21]
Menurut ulama Syafi'iyyah, talak bid'iy itu terbagi dua, yaitu:
  1. Suami tersebut menjatuhkan talak istrinya yang telah disetubuhi pada masa haid. Ketentuan ini mereka dasarkan kepada firman Allah SWT sebagaimana yang telah penulis kutip terdahulu yaitu: …" Talaklah mereka karena 'iddah mereka…". Adapun sebab pengharaman menjatuhkan talak dalam bentuk ini, karena akan memudharatkan istrinya itu disebabkan ia akan ber-'iddah relative lebih panjang.
  2. Suami tersebut menjatuhkan talak istrinya pada masa suci namun pada masa suci itu ia telah menyetubuhi istrinya  di farj-nya (vagina). Menurut pendapat terkuat dalam mazhab ini, menyetubuhi di dubur (anus) juga termasuk dalam mazhab ini , karena ada kemungkinan istrinya hamil atau tidak. Oleh karenanya akan menyulitkan masa 'iddah-nya, apakah sampai melahirkan atau dengan menggunakan qurû'. Di samping itu ada kemungkinan suami itu akan menyesal karena ia akan berpisah juga dengan anaknya.[22] Ulama Hanabilah sepakat dengan ulama Syafi'iyyah.[23]
Menurut ulama Hanafiyyah sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, senagai berikut:
ان يطلقها ثلاث او اثنين بكلمة واحدة او يطلقها ثلاث فى طهر واحد[24]
"yaitu seorang suami menjatuhkan talak istrinya tiga atau dua dengan satu kata, atau ia menjauhkan talaknya tiga pada masa satu kali suci "
Ahmad al-Hashari menguraikan pendapat ulama Hanafiyyah tersebut, di mana menurut mereka talak bid'î dapat diukur dari dua patron, yaitu: a). Dari segi waktu, dan b). Dari segi jumlah talak yang dijatuhkan.

Dari Segi Waktu Penjatuhannya
Adapun dari segi waktu, terbagi kepada dua, yaitu:
1.      Talak satu (raj'î) pada masa haid, jika isteri itu telah disetubuhi baik ia wanita merdeka atau budak. Larangan dalam bentuk ini, menurut mereka dapat memanjangkan 'iddah.
2.        Suami menjatuhkan talak isterinya yang masih/sudah haid sebanyak satu kali (Raj'iy) pada masa suci yang telah disetubuhinya baik wanita itu merdeka ataupun budak. Larangan dalam bentuk ini, menurut mereka adanya kemungkinan isterinya itu hamil lalu ia akan menyesal menjatuhkan talak isterinya itu.[25]

Dari segi jumlahnya
Sedangkan dari segi jumlah talak, talak bid'iy menurut mereka adalah apabila seorang suami menjatuhkan talak isterinya, yang merdeka sebanyak tiga dan budak sebanyak dua, pada satu kali masa suci yang belum disetubuhi baik jumlah itu dijatuhkan dalam waktu sekaligus atau satu persatu.[26]
Menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm yang dikutip oleh Ahmad al-Hashari sebagai berikut:
هو طلاق الرجل امرئته اثناء حيضها أو فى اثناء طهرها الذي وطئها فيه[27]
"Talak Bid'iy ialah yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya pada masa haidnya atau pada masa suci yang pada masa itu telah disetubuhinya"
Para ulama sepakat menyatakan bahwa talak bid'iy adalah haram dan orang yang melakukannya dikenai dosa. Namun mengenai akibat hokum yang ditimbulkan oleh talak bid'iy ini, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seorang suami menjatuhkan talak isterinya dengan talak bid'iy maka talaknya tersebut berlaku dan sah. Adapun alas an yang mereka kemukakan adalah beberapa ayat yang bersifat umum mengenai talak tersebut. Mereka juga melandaskannya kepada hadits Nabi SAW berikiut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسلم صلى الله عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء (متفق عليه)[28]
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudian Rasulullah berkata: aku menanyakannya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab: suruh ia untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang diperintahkan oleh Allah 'Azza Wa Jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"
Dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa suatu ketika 'Umar menjatuhkan talak isterinya sementara isterinya itu dalam keadaan haid. Lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk rujuk kepada isterinya kembali. Menurut mereka, hal itu mengidikasikan bahwa talak yang dijatuhkannya adalah yang termasuk talak bid'iy itu telah berlaku.
Sebagian ulama yang lain, diantaranya ulama syi'ah, zhahiriyyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, Ibn 'Uqail, Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim (Hanabillah) berpendapat bahwa talak bid'iy itu tidak jatuh. Menurut kelompok ini, beberapa ayat Al-Quran menjelaskan bahwa talak bid'iy tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum. Al-Quran justru melarang talak bi'I itu. Ayat menjelaskan bahwa talak harus dijatuhkan pada saat isterinya dapat menjalankan 'iddah. Allah SWT berfirman: "Talaklah mereka karena 'iddah mereka". Dalam memahami hadits tentang Ibnu 'Umar diatas mereka justru memahaminya dengan alur pikir yang berbeda. Menurut mereka, Rasulullah SAW menyuruh Ibn 'Umar untuk rujuk itu bukan karena telah terjadi talak, tetapai Rasulullah SAW marah dan menyuruhnya kembali, jadi menurut mereka, kata فليراجعها dalam hadits tersebut, bukan rujuk dalam term fikih tetapi rujuk dalam pengertian etimologis saja.

Dari Segi Boleh Atau Tidaknya Rujuk:
1.      Talak raj'iy
Talak raj'iy adalah talak satu atau dua yang mana seorang suami masih boleh rujukkepada isterinya itu meskipun isterinya itu tidak rela, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
فهو الذي يملك الزوج بعده إعادة المطلقة إلى الزوجته من غير حاجة إلى عقد جديد ما دامت فى العدة ولو لم ترض وذلك بعد الطلاق الأول والثاني غير البائن إذا تمت المراجعة قبل انقضاء العدة[29]
Yaitu talak yang mana laki-laki itu memiliki hak kembali untuk mengikat tali perkawinan kepada perempuan yang ditalaknya itu tanpa memerlukan akad baru selama masih berada dalam 'iddh, walaupun perempuan itu tidak rela. Hal itu terjadi setelah talak pertama dan kedua yang tidak termasuk kategori ba`in apabila telah sempurna rujuk sebelum habis masa 'iddah.
Ketentuan ini didasarkan kepada Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqaraħ [2] ayat 229:
الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان ولا يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إلا أن يخافا ألا يقيما حدود الله فإن خفتم ألا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود الله فلا تعتدوها ومن يتعد حدود الله فأولئك هم الظالمون
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
Ayat diatas menjelaskan bahwa talak raj'iy adalah talak satu atau talak pertama, talak dua atau talak ke dua. Setelah suami menjatuhkan talak satu atau talak pertama atau talak dua atau talak kedua, maka sebelum habis mas 'iddahnya dia boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya tanpa akad nikah baru dan tanpa mahar. Tetapai bila habis masa 'iddahnya, suami ingin berkumpul kembali maka dilaksanakan akad nikah yang baru serta mahar yang baru.
Adapun akibat dari talak raj'iy adalah: a). Bilangan talak yang dimilki suami berkurang. b). Ikatan perkawinan berakhir setelah masa 'iddah habis jika suami tidak rujuk. c). Suami boleh rujuk dalam masa 'iddah isterinya. d). Ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah dalam salah satu pendapatnya mengatakan, haram bagi suami melakukan hubugan suami isteri dalam masa 'iddah sebelum rujuk, karena mereka berpendapat bahwa dengan terjadinya talak, seluruh hubungan dan iktan suami istri terputud. Akan tetapi menurut ulama Hanafiyyah dan Hanabillah, suami boleh saja menggauli isterinya dalam masa 'iddah dan sikap ini dianggap sebagai upaya rujuk dari suami.[30]
2.      Talak Ba'in
Talak ba'in terbagi dua, yaitu talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. Adapun talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap isterinya yang mana dengan itu ia tidak dapat kembali lagi, kecuali melalui akad dan mahar yang baru, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al- Zuhaili sebagai berikut:
هو الذي لا يستطيع الرجل بعده أن يعد المطلقة إلى الزوجيه إلا بعقد جديد ومهر وهو الطلاق قبل الدخول أو على مال أو بالكتابة عند الحنفية أو الذي يوقعه القاضي لا لعدم الإنفاق أو بسبب الإيلاء[31]
"Yaitu talak yang mana laki-laki itu tidak dapat kembali mengikat tali perkawinan kepada wanita yang ditalaknya itu, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, talak tersebut terjadi sebelum disetubuhi atau atas harta atau sindiran menurut ulama Hanafiyyah atau yang diputuskan oleh hakim yang bukan karena tidak memberi nafkah atau dengan sebab ila' "
Akibat hokum dari talak ba'in sughra adlah: a). Suami tidak boleh rujuk kepada isterinya, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, b). Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang, c). Mahar itu halal disebabkan kepada dua factor, yaitu kematian dan talak, d). Tidak saling mewarisi antara suami dan isteri apabila meninggal salah satu dari keduanya.[32]
Adapun yang dimaksud dengan talak Ba'in kubra adalah talak tiga atau talak yang ketiga, yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya, yang mana suami tersebut tidak dapat kembali lagi sebelum isterinya itu menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain, malakukan hubungan intim dalam artian yang sebenarnya dan telah pula diceraikan oleh suaminya yang baru itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
هو الذي لا يستطيع الرجل بعده أن يعيد المطلقة إلى الزوجية إلا بعد أن تتزوج بزوج آخر زواجا ضحيحا ويدخل بها دخولا حقيقة ثم يفارقها أو يموت عنها وتنقضي عدتها منه وذلك بعد الطلاق الثلاث[33]
"Yaitu talak  yang mana laki-laki tersebut tidak dapak mengikat tali perkawinan dengan wanita yang ditalaknya itu, kecuali setelah ia menikah dengan laki-laki lain sebagai nikah yang benar dan telah melakukan hubungan initm dalam artian yang hakiki kemudian laki-laki itu menceraikan wanita tersebut atau ia mati dan telah habis pula mas 'iddahnya. Hal itu terjadi setelah dijatuhkan talak tiga".
Adapun akibat hukum dari talak ba'in kubra menurut ulama fikiah adalah terputusnya seluruh ikatan dan hubungan suami isteri setelah talak dijatuhkan. Suami tidak memilki hak talak lagi dan diantara keduanya tidak saling mewarisi meskipun dalam masa 'iddah.[34]


[1] Abu Bakr bin Hasan al-Kasnawiy (selanjutnya disebut al-Kasnawiy), Ashl al-Madârik, (Libanon: Dar al-Fikr, t.th.), cet. Ke-2, Juz 3, h. 139-140
[2] Ibid.
[3] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 653
[4] Musthafa Dib al-Bagha, al-Tawzhîb fi Adillaħ min al-Ghâyaħ wa al-Taqrîb, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, h. 173
[5] Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy, (Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz 18, h. 277-278
[6] Konsekwensi dari perbedaan dalam mengklasifikasikan talak ini di antaranya adalah apabila seorang suami berkata keapda isterinya yang termasuk dalam salah satu kategori berikut; anak kecil, sudah menompouse, hamil atau belum disetubuhi; anti thaliq li al-sunnaħ (kamu perempuan yang ditalak karena sunnah), maka talaknya tidak dianggap sebagai talak sunnah. Lihat: Ibid., h. 278
[7] Al-Hasyariy, op.cit., h. 243
[8] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88. Lihat juga: al-Hasariy, ibid., h. 212
[9] Burhan al-Din Abi al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz 1, h. 247. Lihat Juga: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 426
[10] Al-Kasaniy, op.cit., h. 88. Lihat Juga: al-Hashariy, op.cit., h. 212
[11] Al-Kasaniy, ibid.
[12] Al-Marghinaniy, op.cit., h. 248. Bandingkan dengan: al-Kasaniy, ibid., h. 89
[13] Al-Kasaniy, ibid. Lihat juga: al-Hashariy, op.cit., h. 213 dan 244
[14] Al-Kasaniy, op.cit., h. 89
[15] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 2, h. 1093
[16] Al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid 3, h. 102
[17] Al-Hashariy, op.cit., h. 246
[18] KHI ini merupakan peraturan yang diberlakukan khusus bagi umat Islam Indonesia, yang ditetapkan melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991
[19] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 425
[20] Al-Hashariy, op.cit., h. 231
[21] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 300-301
[22] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 430
[23] Ibid., h. 431
[24] Ibid., h. 462
[25] Al-Hashariy, op.cit., h. 216-217
[26] Ibid., h. 217
[27] Ibid., h. 247
[28] Muhammad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartib Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung: Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: al-Jaziriy, op.cit., h. 228
[29] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 432
[30] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 439
[31] Ibid., h. 432
[32] Ibid., h. 434-435
[33] Ibid., h. 432
[34] Ibid., h. 441



No comments:

Post a Comment