Thursday, April 1, 2010

PENGEMBANGAN MAKNA TALAK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


Dalam perundang-undangan Indonesia telah diatur mengenai beberapa hal yang dikhususkan pemberlakuannya begi umat Islam, yaitu tentang perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan. Materi-materi yang terdapat dalam perundang-undangan itu tertuang dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1 Tahun 1991 tenang kompilasi hukum Islam. Materi-materi tersebut merupakan materi hukum yang menjadi dasar penetapan hukum di Pengadilan Agama

Dalam perundang-undangan di Indonsia itu, terutama yang memuaut materi terlengkap dan terkini, pembahasan tentang talak, mengalami beberapa perobahan dan pengembangan dari ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pembahasan tentang talak ini merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan akibat perceraian. Pada sub-bab ini penulis akan memaparkan hal tersebutdalam kaitannya dengan terpenuhinya aspek maqashid al-Syari'ah sebagai petokan baku dalam menetapkan suatu hukum. Dalam pengamatan penulis, perubahan dan pengembangan tersebut terjadi pada hal-hal berikut:

Tata cara menjatuhkan talak.
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fikih Sunni yang menjadi rujukan mayortas umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu. Bahkan talak dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.
Selanjutnya, dalam perturan perundang-undangan jga diatur mengenai tata cara menjatuhkan talak. Juka dilihat dri ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik mengenai hukum formil maupun materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, maka tata cara menjtuhkan talak tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan isterinya mengjukan permohonan ke Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan siding untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0. 7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129 Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami disebut pemohon dan pihak isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68 dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pihak tersebut disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan perkara Contentius dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap dianggap lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).[1]
Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya talak, pengadilan haruh selalu berusah untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar meksud mengadakan perceraian tidak jadi terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengdilan dapat meminta bentuan kepada orang yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada suami isteri tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989. apabila pengdilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengdilan menjatuhkan putusan yang isinya mengabulkan permohonan pemohon. Yaitu memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talak terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap putusa ini pihak isteri boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan banding maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap). Setelah itu pengadilan menetukan hari siding guna menyaksikan ikrar talak dengan memanggil para pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka persidangan). Pada saat siding inilah suami atau wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan talak terhadap isterinya. Sesaat setelah ikrar talak diucapkan atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan penetapannya yang isinya bahwa perkawinan putus karena perceraian (talak) dan terhadap penetapan ini isteri tidak berhak lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7 tahun 1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak dating menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70 ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun 1989).
Apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan talaknya dan ikatan perkawinan tetap utuh, suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alas an yang sama (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana, maka pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya talak tersebut. Surat keterangan itu dibuat rangkap lima. Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim kepada PPN setempat dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan perceraian. Sedang helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989).
Islam menentukan bahwa talak merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan talak kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'isebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)[2]
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim)
Hal-hal yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan talak kepada isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan senantiasa mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya. Berbeda dengan wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut, termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak talak diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja dapat  menyebabkan isteri menjatuhkan talaknya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.[3]
Selanjutnya terkait denagn tata cara menjatuhkan talak para ulama erbeda pendapat mengenai perlu tidaknya saksi dalam menjatuhkan talak tersebut. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa talak dapat terjadi tanpa dipersaksikan dihadapan orang lain, karena talak adalah hak suami sehingga suami bias sja sewaktu-waktu menggunakan haknya tanpa menghadirkan dua orang saksi dan sahnya talak tidak tergantung kepada kehadiran saksi. Disamping itu, menurut mereka tidak ada hadits dari Rasulullah SAW atau atsar sahabat yang menunjukkan diperlukannya kesaksian dalam menjatuhkan talak. Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid al-Sabiq sebagai berikut:
ذهب جمهور الفقهاء من السلف والخلاف إلى أن الطلاق يقع إشهاد لأن الطلاق من حقوق الرجل ولا يحتاج إلى بينة كي يباشر حقه ولم يرد عن النبي ص.م ولا عن الصحابة ما يدل على مشروعية الإشهاد[4]
"Jumhur fuqaha yang terdahulu maupun kemudian berpendapat bahwa talak sah tanpa harus dipersaksikan dihadpan orang lain. Sebab talak adalah termasuku hak suami. Ia tidak memerlukan kepada bukti untuk menggunakan haknya. Dan tidak ada keterangan dari Nabi SAW maupun para sahabatnya yang menunjukkan adanya keperluan saksi dalam menjatuhkannya"
Namun golongan Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa mempersaksikam talak menjadi syarat sah talak, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayyid Sabiq sebagai berikut:
وخالف فى ذلك فقهاء الشيعة الإمامية فقالو إن الإشهاد شرط فى ضحة الطلاق واستدلوا بقوله الله سبحانه فى سورة الطلاق (واشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله) فذكر الطبراشي أن الظاهر أنه أمر بالإشهاد على الطلاق وأنه مروى عن أئمة أهل البيت رضوان الله عليهم أجمعين وإنه للوجوب وشرط فى صحة الطلاق[5]
"Mereka berkata: Mempersaksikan talak itu menjadi syarat sahnya talak alas an mereka, yaitu firman Allah SWT dalam surat al-thallaq (danpersaksikan olehmu dengan dua saksi yang adil diantara kamu dan tegakkanlah kesaksian karena Allah) al-Thabrisi menyebutkan pada zahirnya ayat ini memerintahkan menghadirkan saksi untuk menjatuhkkan talak. Dan ada diriwayatkan dari ahli Bait (keluarga Rasulullah) semua, dan memepersaksikan talak hukumnya wajib serta masuk syarat sahnya talak"
Apabila kita perhatikan sekumpulan nash tentang tuntutan melanggengkan ikatan perkawinan dan larangan untuk menjatuhkan talak kecuali dalam keadaan dharurah, maka berdasarkan induksi dari keseluruhan nash tersebut dapat disimpulkan bahwa UU atau ketentuan yang akan diberlakukan mesti menerapkan asas "mempersempit kemungkinan terjadinya talak". Talak baru dapat dijatuhkan apabila alas an-alasan yang dikemukakan oleh suami tersebut telah mendapat legalitas dari Syara' dan mesti pula dijatuhkan di Pangadilan Agama. Jadi menurut Penulis, peraturan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan di Indonesia tentang ketentuan menjatuhkan tlak, telah sesuai dan sejalan dengan Maqashid Al-Syara'.
Adapum diamtar nash yang menuntut untuk melanggengkan ikatan perkawinan adalah firman Allah SWT dalam surat al-Nisa' ayat 35:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
Ayat diatas menjelaskan bahwa jika seorang penegak hukum melihat indikasi persengketaan antara sepasang suami isteri, maka hendaklah ia mengutus seorang hakam pula dari pihak isteri. Bahkan dalam ayat tersebut dijelaskan, jika kedua hakam itu berupaya semaksimal mungkin untuk mendamaikan sepasang suami isteri itu maka Allah menjanjikan sepasang suami isteri itu akan mendapat Taufik. Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya syara' sangat menginginkan agar ikatan perkawinan yang diistilahkan dalam Al-Qur'an dan siikuti oleh kompilasi hukum Islam tersebut sedapat mungkin dipertahankan.
Disamping itu dijelaskan juga dalam hadits bahwa Nabi SAW menyatakan, talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkannya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibn Majjah dan Hakim sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال أبغض الحلال إلى الله عزوجل الطلاق (رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الحاكم ورجح أبو حاتم ارساله)[6]
"Diterima dari Ibn 'Umar r.a ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majah, al-Hakim men-shahih-kannya, namun Abu Hatim menyatkan mursalnya).
Berdasarkan hadits diatas, nerpendapat bahwa talak hanya boleh dijatuhkan dalam keadaan darurat. Artinya apabila masih ada jalan untuk berdamai maka sedapat mungkin sepasang suami isteri itu mengambil jalan damai tersebut. Bahkan ulama Hanafiyyah berpendapat hukum asal dari talak tersebut adalh makruh tahrim.
Ayat yang digunakan ulama Syi'ah untuk mengharuskan keberadaan saksi dalam ikrar talak, juga menjadi pertimbangan menetapkan hukum dalam persoalan ini. Ayat tersebut adalah firman Allah SWT dalam surat al-Thalaq ayat 2:
..وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله...
Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…
Ayat diatas menjelaskan urgensi keberadaan saksi dalam melakukan suatu tindakan hukum. Oleh karena menjatuhkan talak mempunyai akibat hukum yang cukup besar seperti nafkah dalam segala bentuknya, meskipun bukan dalam bentuk person (misalnya akta).
Jadi berdasarkan induksi dari sekumpulan nash tentang topic diatas, sebagaimana yang telah penulis kemukakan, maka penulis sepakat dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia bagi umat Islam yang menyatakan bahwa talak hanya jatuh di Pengadilan Agama., sebagaiman yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 115: "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak"

Alasan-alasan Perceraian
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 116 dinyatakan beberapa alas an perceraian yang dibolehkan, yaitu sebagai berikut:
a.       Salah satu dari kedua pihak berzina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau hal lain diluar kemampuannya
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.      Salah satu melakukan kekejaman atau penganiayaan berat membahayakan pihak lain
e.       Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri
f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga
g.      Suami melanggar taklik talak
h.      Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga
Alasan-alasan tersebut diatas dalam prakteknya tidaklah bersifat komulatif melainkan bersifat alternative, artinya apabila terdapat salah satu diantar alas an-alsan diatas maka pemoho atau penggugat boleh mengajukan permohonan talak.
Perlu ditegaskan disini bahwa alas an-alasan perceraian dalam pasal diatas mencakup dua bentuk perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat (khulu'). Oleh karena itu bahwa poin (g) khusus diberlakukan sebagai alas an cerai gugat.
Apabila diperhatikan alas an-alasan perceraian diatas, tampaknya hanyadisebabkan satu hal, yaitu terjadinya mudharat bagi salah satu pihak sehingga tujuan dari pensyari'atan institusi perkawinan tidak tercapai. Secara jelas Rasulullah SAW menyatakan bahwa kemudharatan harus dihilangkan sebagaimana sabdanya berikut:
عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا ضرر ولا ضرار وللرجل ان يجعل خشبه في حائط جاره والطريق الميتاء سبعة أذرع (رواه أحمد وابن ماجة)[7]
"Diterima dari Ibnu Abbas r.a ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: tidak boleh membuat mudharat dan tidak boleh pula memudharatkan" (H.R. Ahmad dan Ibn Majah)
Sebenarnya dalam formulasi fikih klasik, poin nomor b, c, d, e, f, g dan h itu sudah dibahas dan dibolehkan oleh Imam Malik, dan poin nomor b,c dan d dikutkan oleh Imam Ahmad.[8] Bahkan khusus poin g dan h disepakati oleh jumhur ulama.[9] Mengenai poin a tentang overspel (zina), meskipun tidak disebutkan secara eksplisit oleh nash dan tidak pula dikemukakan oleh ulama klasik, namun sebagaiman diinformasikan oleh M. Yahya Harahap, hal itu merupakan alas an yang paling universal[10] karena jelas akan berujung kepasa kemudharatan. Begitu pula pemabuk, pemadat dan penjudi yang sudah termasuk kategori habitual (ketagihan), jelas sekali sangat potensial menimbulkan mudharat, bahkan bias menjadi sumber yang mendatangkan mudharat-mudharat lain.
Bahkan apabila majelis hakim dihadapkan kepada alas an-alasan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam pasal tersebut, namun dapat menimbulkan mudharat bagi salah satu pihak yang tentu saja menghalangi tercapainya tujuan perkawinan, maka hakimpun dituntut untuk membenarkannya dengan melakukan interprestasi hukum keada poin mana akan dihubungkan alas an itu. Disinilah urgensi hakim itu nesti termasuk minimal sebagai Mujtahid muthabbiq. Jadi seluruh alas an perceraian yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku tersebut dapat dikatakan sejalan dengan kehendak  syara'.

Akibat putusnya perkawinan karena talak
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan pula mengenai akibat putusnya perkawinan karena talak. Dalam pasal 149 dinyatakan bahwa bekas suami wajib: a) Memberkan mut'ah jika telah di dukhul, b) Memberikan Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam 'iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil, c) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila belum di dukhul dan d) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Poin a dan c sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 236, poin b sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233. akan tetapi poin d tidak ditemukan penjelasannya sevara jelas dan nash. Hanya poin inilah yang merupakan pengembangan dalam pasal 149 ini. Menurut penulis, penetapan pemberian biaya hadhanal sampai seorang anak berumur 21 tahun dapat dibenarkan. Sebab di Indonesia, seorang yang masih berumur 21 tahun masih duduk dibangku pendidikan. Adapun akibat lain putusnya perkawinan karena talak yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu hak rujuk bagi suami dalam masa 'iddah (pasal 150) kewajiban isteri untuk menjaga diri, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain (pasal 151), hak isteri untuk mendapatkan nafkah 'iddah kecuali bila nusyuz (pasal 152) dan ketentuan masa tunggu (pasal 153 dan 154), tidak ada perubahan dan pengembangan sama sekali. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipahami melalui nash, baik dalam Al-Quran maupun Hadits Nabi SAW dengan jelas.


[1] Mahkamah Agung, Penerimaan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama, (Jakarta: t.tp., 1992), h. 52
[2] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 175 dan Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 1, h. 658
[3] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 210-211
[4] Ibid., h. 220
[5] Ibid.
[6] Ahmad Ibn 'Ali Ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat juga: al-Baqiy, op.cit., h. 650
[7] Al-Kahlaniy, op.cit., Jilid 3, h. 84. Lihat juga: al-Baqiy, op.cit., Jilid 2, h. 784
[8] Sabiq, op.cit., h. 248-251. Lihat juga: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 348
[9] Sabiq, ibid., h. 223
[10] M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 136



No comments:

Post a Comment