Thursday, April 1, 2010

TALAK DAN PERMASALAHANNYA


Talak sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan merupakan topik yang selalu harus dibicarakan ketika membahas persoalan pernikahan. Walau ia bagian dari bahasan pernikahan, bukan berarti wacana tentang talak ini bias dianggap sederhana dan “sempit”. Ada banyak persoalan yang mesti dan lazim menjadi bagiannya, mulai dari pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, macam-macamnya aplikasi dan relevansinya dengan hukum positif Indonesia dan sebagainya. Karena itu, tulisan tentang persoalan tersebut akan ditampilkan dalam beberapa postingan. Postingan awal ini berupa penjelasan dasar tentangnya, yaitu tentang pengertian dan dasar hukum talak.


Pengertian Talak
Talak berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-thalâq. Kata al-thalaq merupakan bentuk mashdar dari kata thalaqa (fi'il mâdhiy)-yathluqu (fi'il mudhâri'). Secara etimologi kata al-thalâq berarti: lâ qayda 'alaiha wa kadzalika al-khaliyyaħ[1] (tidak ada ikatan atasnya dan juga berarti meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy[2] mengemukakan pengertian etimologi dari kata Al-thalaq itu dengan: Izâlat al-qayd wa al-takhliyyaħ (menghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi, kata al-thalâq tersebut digunakan untuk menyatakan: "melepaskan ikatan secara hissiy, namun 'urf mengkhususkan pengertian al-thalâq itu kepada: "melepaskan ikatan secara ma'nawiy"[3]
Sedangkan pengertian talak secara terminology telah dikemukakan pula oleh para ulama fikih. Menurut al-Sayyid al-Bakar (ulama Syafi'iyah), talak adalah:
حل عقد النكاح باللفظ اللآتي وهي الطلاق والفراق والسراح[4]
Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafal berikut: al-thalaq, al-firaq dan al-sarrah
Adapun menurut al-Sayyid Sabiq, talak adalah:
حل الرابطة الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية[5]
Melepaskan ikatan dan mengakhiri hubungan perkawinan
Ulama Malikiyyah mendefinisikan makna talak tersebut dengan mengdepankan konsekuensi yang ditimbulkan oleh keberadaan talak itu dan penekanan terhadap perbedaan antara talak raj'iy dan talak Ba'in. manurut mereka talak adalah:
صفة حكمية ترفع حلية تمتع الزوج بزوجيته بحيث لو تكررت منه مرتين حرمت عليه قبل التزويج بغيره[6]
Suatu sifat hukmi yang mengangkat halalnya bersenang-senang antara seorang suami dengan isterinya, yang mana apabila hal itu telah dilakukan dua kali maka diharamkan atasnya (untuk menikahi) sebelum ia menikah dengan orang lain.
Menurut 'Abd al-Rahman al-Jaziri, tidak dikedepankan secara eksplisit kalimat atau istilah bermakna raj'iy dan ba'in dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Sayyid al-Bakar (Syafi'iyyah) diatas sehingga dapat merangkum kedua kategori talak tersebut disebabkan, karena menurut ulama syafi'iyyah talak raj'iy itu juga mengangkat ikatan pernikahan sehingga seorang suami yang menjatuhkan talak raj'iy terhadap isterinya maka ia tidak boleh menyetubuhinya sampai suami tersebut telah merujukinya, baik dengan lafal sharih atau kinayah.[7] sedangkan menurut ulama Malikiyyah, apabila suami meniatkan untuk rujuk ketika menyetubuhi isterinya itu maka rujuknya sudah dianggap sah. Bahkan para ulama dikalangan Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ketika suami menyetubuhi isterinya  yang sedang berada dalam masa 'iddah maka sudah dianggap sudah rujuk, meskipun ia tidak meniatkan untuk itu.[8]
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan ikatan pernikahan, baik dalam bentuk raj'iy maupun ba'in, dengan lafal-lafal yang ditentukan, baik dalam bentuk sharih maupun kinayah sehingga antara kedua orang tersebut tidak dihalalkan lagi untuk "bersenang-senang".

Dasar Hukum Talak
Talak sebagai salah satu yang disyaratkan dalam agama Islam, tentunya telah mendapatkan legalitas oleh sayara'. Dasar pensyariatan hokum talak tersebut terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah, serta telah disepakati oleh Ulama dalam bentuk ijma' terhadap legalitasnya.
Diantara dasar hokum talak yang terdapat dalam Al-Quran adalah:
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا الله ربكم لا تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وتلك حدود الله ومن يتعد حدود الله فقد ظلم نفسه لا تدري لعل الله يحدث بعد ذلك أمرا
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru
Ayat diatas secara jelas menguraikan petunjuk atau aturan tentang waktu dan tata cara menjatuhkan talak, kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, meskipun yang di khitabb dalam ayat tersebut hanya Nabi Muhammad SAW, namun menurut para mufassir, kandungan hokum yang terdapat dalam ayat itu tetap menjangkau dan berlaku bagi umatnya.
Dalam mengomentari pengkhususan khitab terhadap Nabi Muhammad SAW dalam ayat diatas, Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshash, mengemukakan sebagai berikut:
"Abu Bakar berkata: Pengkhususan khitab ayat terhadap Nabi Muhammad SAW membawa beberapa kemungkinan pengertian; a). sudah diketahui bahwa hokum atau ketentuan apa saja yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditujukan kepada umatnya. Sebab umatnya tersebut diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang diperintahka kepada Nabi SAW, kecuali beberapa hala yang dikhususkan kepada Nabi SAW. b). pada awal potongan ayat tersebut, di taqdirkan kalimat: Ya ayyuha al-Nabi qul li ummatika idza thallaqtum al-nisa'….(Hai Nabi, katakanlah kepada umatmu: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu…), dan c). Biasanya, apabila yang dikhitab itu adalah Pemimpinnya, maka pengikutnya telah termasuk didalamnya.[9]
Jadi menurut Abu Bakar tersebuut, meskipun dalam ayat khitab-nya dikhususkan kepada Nabi Muhammad SAW namun tetap berlaku bagi umatnya.
Muhammad Sulaiman 'Abdillah al-'Asyqar dan Ibn Katsir berpendapat bahwa didahulukannya khitab tersebut kepada Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. ketentuan yang terdapat dalam ayat di atas, menurut kedua mufassir tersebut, juga berfungsi bagi Umatnya, sebab setelah khitab itu ditujuakan kepada Nabi SAW, Allah SWT menujukannya kepada Nabi SAW dan umatnya, yaitu dengan menggunakan khitab plural pada kata "thalaqtum".[10]
Begitu juga firman Allah SWT dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 231:
وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه ولا تتخذوا آيات الله هزوا واذكروا نعمة الله عليكم وما أنزل عليكم من الكتاب والحكمة يعظكم به واتقوا الله واعلموا أن الله بكل شيء عليم
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa seorang suami yang menjatuhakan kepada isterinya hendaklah tidak menganiaya isterinya dengan cara mengupayakan agar isterinya tersebut berada dalam masa 'idah yang panjang. Ayat tersebut diatas merupakan kritikan keras terhadap kasus yang dipraktekkan oleh Tsabit Ibnu Basyar, seorang laki-laki dari golongan Anshar, dimana ia menjatuhkan talak isterinya namun ketika masa 'iddah-nya tinggal dua atau tiga hari lagi, lalu ia rujuk kepada isterinya, kemudian ia kembali menjatuhkan talak isterinya untuk yang kedua  dan begitu seterusnya sehingga isterinya tersebut selalu berada dalam masa 'iddah[11] selama sembilan bulan, dengan maksud menganiayanya. Oleh karena itulah sehingga Allah menurunkan ayat diatas. Demikian asbâb al-nuzûl ayat tersebut menurut Suday.[12]
Dua ayat diatas secara eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa talak memang disayriatkan dan mendapat legalitas dari syar'i. disamping dua ayat tersebut masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang talak, terutama yang cukup jelas adalah ayat-ayat yang menguraikan tentang masa 'iddaħ.[13]
Di antara hadits Rasulullah yang menjelaska perceraian adalah:
عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله ص.م: لا طلق إلا بعد نكاح ولا عتق إلا بعد ملك (رواه ابن ماجة)[14]
"Diterima dari Jabir r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: tidak ada talak kecuali setelah ada pernikahan, dan tidak memerdekakan budak kecuali setelah ada kepemilikan" (H.R. Abu Yu'la dan Hakim men-shahih-kannya).
Hadits diatas menjelaskan bahwa talak dapat dijatuhkan setelah adanya akad pernikahan dan tindakan memerdekakan budak baru dapat berlaku dan mempunyai konsekuensi hukum apabila telah ada kepemilikan. Hal itu berarti bahwa talak mendapat legalitas dari syara'.
Begitu juga hadits Nabi SAW yang lebih kurang semakna dengan hadits di atas, yaitu:
عن عمرو بن سعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول الله ص.م لا نذر لابن آدم فيما لا يملك ولا عتق له فيما لا يملك ولا طلق له بيما لا يملك (أخرجه أبوا داود والترمذي وصححه ونقل عن البخاري أنه أصح ما رواه فيه)[15]
"Dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda: tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap nadzar yang belum ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia miliki " (H.R. abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya. Dinukilkan dari al-bukhari bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini).
Begitu juga hadits Nabi SAW berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال أبغض الحلال إلى الله عزوجل الطلاق (رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الحاكم ورجح أبو حاتم ارساله)[16]
"Diterima dari ibnu 'Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majjah, al-Hakim men-Shahih-kanny namun Abu Hatim menyatkan mursal-nya).
Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa meskipun Rasulullah SAW menyatakan bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT- sehingga menurut para ulama hanya boleh terjadi jika benar-benar terpaksa, namun walau bagaimanapun tetap mendapat legalitas dari syara'.
Juga hadits Nabi SAW berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسلم صلى الله عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء (متفق عليه)[17]
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudoan Umar berkata: aku menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruh ia untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Itulah 'iddah yang telah ditetapkan Allah untuk menjatuhkan talak para wanita" (H.R. Muttafaq Alaih).
Berdasarkan kasus yang terjadi pada Ibnu 'Umar tersebut, Rasulullah SAW memberikan jalan keluarnya, sekaligus menjadi pedoman bagi umat Islam pada umumnya. Dalam hadits diatas Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa talak boleh dilakukan. Oleh karena itu juga dapat dipahami bahwa talak memang mendapat legalitas dari syara'.
Di samping legalitas syara' yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah diatas, para ulama juga telah menyepakati dalam bentuk ijma' terhadap kebolehan menjatuhkan talak tersebut.[18] Legalisasi yang diberikan oleh syara' terhadap pensyari'atan talak itu juga didukung oleh dalil logika, dimana apabila kondisi antara suami dan isteri itu memburuk sehingga jika sepasang suami dan isteri itu dipaksa umtuk mempertahankan perkawinannya, justru akan menimbulkan ke-mafsadat-an dan ke-mudharat-an saja. Dalam kondisi seperti itu tidak logis mempertahankan perkawinan tersebut, sebab hanya akan memeperpanjang situasi buruk, mafsadah dan ke-mudharat-an tersebut.[19]
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa meskipun menurut pendapat ashah, hukum asal dari talak itu adalah mahzur (dilarang) kecuali karena alasan-alasan yang sudah masuk kedalam kategori hâjaħ,[20] namun walau bagaimanapun, talak memang disyari'atkan dalam islam berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi SAW yang telah penulis kemukakan diatas.





[1] Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1992), cet. Ke-2, Jilid 8, h. 188
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998), cet. Ke-3, h. 141. Lihat juga: Muhammad Ruwas Qal'ahjiy dan Hamid Shadiq Qinyabiy, Mu'jam Lughaħ al-Fuqahâ`, 'Arabiy-Ingliziy Divorce Repudiction, (Riyadh: Dar al-Nafa`is, 1988), h. 281
[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 356
[4] Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Juz 4, h. 2
[5] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 206
[6] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 279
[7] Ibid., h. 278
[8] Ibid., h. 279
[9] Abu Bakr Ahmad al-Raziy al-Jashshash, Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 3, h. 677
[10] Muhammad Sulayman 'Abdillah al-'Asyqar, Zubdat al-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), h. 748. Lihat Juga: 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), Juz 4, h. 484
[11] 'Iddaħ adalah suatu masa yang mana pada masa itu seorang perempuan menunggu dan terlarang untuk menikah setelah suaminya wafat atau menceraikannya. Lihat: Sabiq, op.cit., h. 277
[12] Muhammad 'Ali al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 154
[13] Ketentuan tidak adanya 'iddah isteri yang belum disetubuhi terdapat dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 49. 'Iddah perempuan yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 234. 'Iddah perempuan yang masih haid dan tidak ditinggal mati adalah tiga kali quru' (menurut ulama Syafi'iyyah berarti suci dan menurut ulama Hanafiyyah berarti haid) ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 228. 'Iddah perempuan hamil (sampai melahirkan) ditetapkan dalam surat al-Thalâq [65] ayat 4.
[14] Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 1, h. 660
[15] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), Juz
[16] Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat Juga al-Baqiy, op.cit., h. 650
[17] Muhamad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartîb Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung: Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: 'Utsman, op.cit., h. 228
[18] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 357
[19] Ibid.
[20] Sabiq, op.cit., h. 207



No comments:

Post a Comment